SIFAT DAN ARTI POLITIK

PENDAHULUAN

Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.Ilmu politik sering dikaitkan dengan berbagai kegiatan kenegaraan dan hubungan-hubungan Negara dengan warga negaranya serta dengan Negara lain.Oleh karna itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang  sifat dan arti politik menurut para ahli ilmu politik, sejarah lahir dan berkembangnya ilmu politik, serta tujuan dan fungsi dari ilmu politik itu sendiri.

 

PEMBAHASAN

 

A.    PENGERTIAN, OBYEK, DAN KARAKTERISTIK ILMU POLITIK

Istilah Politik sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan dalam system politik ataupun Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan, pengambilan keputusan, yang akan menjadi tujuan system politik yang menyangkut seleksi beberapa alternative serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan tersebut.

Banyak para ahli yang merumuskan pengertian tentang ilmu politik.

Menurut Brendan O’Leary (2000), Ilmu politik merupakan disiplin akademis, yang dikhususkan pada penggambaran, penjelasan, analisis, dan penelitian yang sistematis mengenai politik dan kekuasaan.

Sebetulnya ilmu politik tergantung dari dimensi mana ia melihatnya. Bagi kaum institusionalis atau institusional approach seperti Roger F.Soltau (1961:4), yang mengatakan bahwa ilmu politik adalah kajian tentang Negara, tujuan-tujuan Negara, dan Lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Hubungan antar Negara dengan warga negaranya serta dengan Negara-negara lain.

Sedangkan J. Barnets (1965: 23), mengemukakan bahwa ilmu politik adalah ilmu tentang kehidupan Negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyaarakat.

Hal tersebut berbeda dengan kelompok pendekatan kekuasaan seperti Harold Laswel, W.A. Robson, maupun Deliar Noer. Lawsel (1950) mengemukakan bahwa ilmu politik sebagaai disiplin empiris yang mengkaji tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan serta tindakan politik. Kemudian Robson mengemukakan ilmu politik adalah ilmu yang memfokuskan dalam masyarakat. Focus perhatian tertuju pada pelaksanaan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuassaan itu.

Kemudian seorang ahli ilmu politik dalam negeri kita Deliar Noer, mengemukakan bahwa ilmu politik memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

Berbeda dengan mereka yang menggunakan pendekatan pengambilan keputusan seperti Joyce Mitchell maupun Karl W. Deutcsh. Mitchell (1969: 4-5) mengemukakan politik adalah pengammbilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan public untuk suatu keseluruhan masyarakat.

Selanjutnya menurut Hogerwerf yang mmengemukakan objek dari ilmu politik adalah kebijaksanaan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya.

Sedangkan menurut Robert Dhal (1994 ) bahwa ilmu politik tentang hubungan  manusia yang kokoh, dan melibatkan secara cakup mencolok, kendali, pengaruh kekuasaan dan kewenangan.

Ruang lingkup disiplin ilmu politik kontemporer sangat luas, yang meliputi sub-bidang utama dari penyelidikan ilmu politik yaitu :

 

1.      PEMIKIRAN POLITIK

Pemmikiran politik berawal dari para pemikir sejak zaman plato dan Aristoteles, zaman pertengahan dan awal modern karya-karya Aquinas, Agustine, Hobbest, Locke, Rousseau, dan Montesquieu serta buku-buku para penulis modern seperti Kant, Hegle, Marx, Tocqueville, dan John Stuart Mill.

Dalam perkembangannya norma tersebut banyak dikritik berulang kali karena dianggap bersifat etnosentrisme. Oleh karena itu kelompok yang menolak norma tersebut berasumsi bahwa kajian pemikiran poltik harus diserahkan kepada para ahli sejarah.

Para ahli sejarah pemikiran politik walaupun sependapat bahwa ilmu klasik menyampaikan persoalan-persoalan yang tidak mengenal zaman, akan tetapi norma itu lebih penting untuk pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya daripada untuk menemukan jawaban-jawaban yang diberikan.

Bagi mereka tugas pemikiran poiltik adalah untuk menemukan makna dan konteks yang asli dari wacana klasik. Pendekatan kontektual dan histories dikritik karena menyiratkan bahwa kita harus melakukan hal-hal yang mustahil menjadi orang-orang yang sezaman dengan para pengarang besar untuk memahami semuanya.

 

2.      TEORI POLITIK

Teori politik merupakan enterprise dan jika ditelusuri akar-akar nya mempunyai silsilah yang panjang serta istimewa (Miller 2000).

Sebagian teori telah memulai dengan konsepsi tentang sifat manusia, dan mempertanyakan pengaturan politik serta sosial apa yang mengisi dengan baik kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umat manusia. Sedangkan sebagiaan lagi memulai dengan mempertanyakan apa jenis pengetahuan yang mungkin dalam maslah-masalah politiik, serta melanjutkan pada masalah-masalah mempertahankan pengaturan institusi yang memberikan kekuasaan kepada rakyat sesuai dengan proporsi kapasitas untuk menggunakannya demi kebaikan masyarakat.

Teori politik tersebut pada abad ke-20 mengalami perkembangan yang pesat terutama setelah terpengaruh oleh pemikiran positivisme. Dominasi positivisme tersebut terletak pada klaim bahwa tidak mungkin ada hubungan yang logis antara proporsi empiris yang menjelaskan dunia sebagaimana adanya dan proposisi normative yang mengatakan bagaimana seharusnya kita bertindak.

Terdapat tiga bentuk penteorian dalam ilmu politik yaitu :

a.      Teori politik empiris

Biasanya digunakan untuk mengacu kepada bagian-bagian teoritis ilmun politik.

b.      Teori politik formal

Teori politik yang kadang-kadang dirasakan tumpang-tindih dengan teori-teori sosial maupun teori-teori pilihan public
(Miller, 2002: 787). Istilah ini meminjam gagasan dari ilmu ekonomi tentang pelaku-pelaku rasional yang berusaha mencapai tujuan-tujuannya, kemudian mengembangkaan model system politik dan seolah-olah mereka tersusun dari pelaku-pelaku dalam peran politik seperti poitisi, birokrat, pemilih, dan lain-lain. pada bagian lain para ahli teori mengasumsikan satu populasi dengan preferensi politik tertentu, dan melihat bagaimana partai-partai politik berprilaku dalam system pemilihan yang demokratis dengan asumsi bahwa setiap tujuan partai adalah  memenangkan pemilihan dan masing-masing tujuan pemilih adalah untuk mengamankan kebijakan yang sesuai mungkin dengan preferensinya sendiri.

c.       Teori politik normative

Merupakan teori polkitik yang paling dekat dengan enterprise tradisional, sejauh berkenaan dengan justifikasi institusi dan kebijakan politik (Miller 2000: 797 ) tujuannya adalah meletakkan prinsip-prinsip otoritas, kebebasan, keadilan dan lain-lain. kemudian mengkhususkan pada tatanan sosial yang paling memadai untuk prinsip-prinsip tersebut. Selain itu ada dua tugas teori politik :

  1. Menjelajah apa makna gagasan kebebasan da kemudian menerapkannya pada masalah-masalah praktis.
  2. Spectrum ini berdiri di mana mereka memihak kepada beberapa bentuk fondasional, di mana pandangan tersenbut adalah mungkin untuk menemukan landasan tujuan dalam mendukung prinsip-prinsisp politik dasar.

 

3.      LEMBAGA-LEMBAGA POLITIK

Yang merupakan kajian terhadap lembaga politik khususnya peranan konstitusi, eksekutif, birokrasi, yudikatif, dan partai politik. Banyak para ahli politik kontemporer yang menghabiskan waktunya untuk memonitor, mengevaluasi, dan menghipotesiskan tentang asal-usul, perkembangan system pemilihan atau organisasi-organisasi pemerintahan yang semu.

 

4.      SEJARAH POLITIK

Banyak para ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah politik walaupun sering bias terhadap sejarah kontemporer. Pada umumnya mereka percaya bahwa tugas ilmuwan politik menawarkan penjelasan-penjelasan retrodiktif bukannya prediksi-prediksi yang kritis dan sangat deskriptif. Mereka yakin bahwa kebenaran terletak pada arsip-arsip pemerintah (O’Leary, 2000).

Selain itu secara garis besar, politik terbagi menjadi dua kubu :

1.      High Politics (politik tinggi)

Yang mempelajari perilaku politik para pembuat keputusan elit, mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elit politik adalah kunci pembuat sejarah.

2.      Low Politics (politik bawah)

Mereka percaya bahwa perilaku politik masal memberikan kunnci untuk menjelaskan politik utama seperti hal nya beberapa revolusi yang terjadi.

 

5.       POLITIK PERBANDINGAN

Fokus perbandingan memberikan satu-satunya cara untuk menjadi ilmu sosial murni. Ilmu politik berkaitan dengan upaya membangun hukum-hukum universal atau generalisasi yang bisa memberikan penjelasan-penjelasan fenomena politik yang tepat dan teruji.

Lembaga-lembaga politik perbandingan telah berkembang menjadi suatu disiplin yang meliputi  : konstitusi, eksekutif, legislative, dan yudikatif baik di dalam dan luar negeri untuk kemudian dijelaskan perbedaan-perbedaan dalam cara dimana persoalan-persoalan politik diproses dan diatasi.

Analisis perbandingan politik berkembang sebagai bagian dari gerakan behaviourisme ilmu sosial yang mengkritik sifat formalistik dan legalistic dari ilmu politik yang institusional. Sebab analisis-analisis konstitusional, legal dan formal seringkali mempunyai sedikit dukungan empiris yang substansial. Dengan perubahan pendekataan behavioristik disertai dengan penelitian kuantitatif yang tepat tentang system pemilihan dan perilaku pemilihan, keberfungsian partai-partai politik dan system partai, serta pembuatan kebijakan umum dapat dikaji secara tepat.

 

6.      EKONOMI POLITIK

Hubungan  ilmu ekonomi dan politik di mana manusia tidak pernah puas menggapai kepentingan diri yang rakus tersebut.

Pemikiran yang demikian telah menggerakkan literature uang yang ekstensif misalnya, tentang ekonomi politik lingkaraang bisnis, di mana para ahli teori mencoba memprediksi bagaimana para politisi memanipulasi alat-alat ekonomi untuk membangun atau menciptakan dukungan politik (Tufte, 1978).

 

7.      ADMINISTRASI PUBLIK DAN KEBIJAKAN UMUM

Administrasi publik dan kebijakan umum, kedua-duanya merupakan cabang empiris dan normatif dari ilmu politik yang tumpang tindih dengan hukum dan ekonomi. Semua itu terjadi karena administrasi publik memusatkan perhatiannya pada susunan institusional provisi pelayanan publik, dan secara historis berkenaan dengan kepastian administrasi yang bertanggung jawab dan adil.

Kedua bidang tersebut, tidak mempunyai satu pendekatan dominan dimana para eksponen pluralisme, behaviorisme, pilihan rasional, marxisme, dan feminisme, ternyata terlibat dalam perdebatan dengan era institusionalis yang mengambil inspirasi mereka dari sosiolog Max Weber. Oleh karena itu, masalah pokok pada bidang ini adalah: perumusan, penerapan, dan penilaian terhadap kebijakan publik.

 

8.      TEORI-TEORI KENEGARAAN

Teori ini sering diduga merupakan teori politik yang paling padu dalam memberikan perhatian bagi teori politik kontemporer, pemikiran politik, administrasi publik, kebijakan publik, sosiologi politik, dan hubungan internasional (O’Leary 2000). Hal ini dapat dipahami mengingat kebanyakan ilmu politik kontemporer memfokuskan pada organisasi Negara dalam sitem demokrasi liberal. Dalam hal ini demokrasi liberal sebagai bagian daeri jawaban terhadap perkembangan kegiatan Negara dalam demokrasi kapitalis barat, yang pada abad ke-20 telah terlihat fungsi-fungsi Negara yang melebar melampau inti minimal pertahanan, keteraturan dan pembuatan hukum serta perlindungan terhadap agama dominan hingga meliputi manajemen dan regulasi ekonomi serta social yang ekstensif (O’Leary, 2000).

Terdapat dua masalah dalam demokrasi yang pertama, hingga tingkat mana Negara demokrasi dikontrol oleh rakyatnya. Negara dikontrol oleh masyarakatnya, atau setidak-tidaknya dikontrol oleh orang yang paling kuat di masyarakatnya. Kemudian yang kedua, negar cukup otonom sehingga bisa mengarahkan kembali ketekanan yang datang dari masyarakatnya ataupun yang paling kuat dalam masyarakatnya.

 

9.      HUBUNGAN INTERNASIONAL

Sub-bidang ilmu politik ini memfokuskan pada msalah-masalah yang beragam menyangkut organisasi-organisasi internasional, ekonomi politik internasional, kajian perang, kajian perdamaian, dan analisis kebijakan.

Pemikiran normative terbagi ke dalam dua mazhab :

1.      Pemikiran idealis

Mempercayai bahwa Negara dapat dan harus melaksanakan urusan-urusan mereka sesuai dengan hokum dan moralitas serta kerjasama fungsional lintas batas Negara.

2.      Pemikiran realis

Mereka percaya bahwa pada dasarnya moral dalam kebijakan luar negerinya, hubungan antar Negara diatur bukannya oleh kebaikan tetapi kepentingan, perdamaian adalah hasil dari kekuasaan yang seimbang, bukannya tatanan normative dan kooperatif fungsional (O’Leary, 2000 :794).

Beberapa bidang kajian politik berkembang demikian banyak seperti :

1.      Budaya politik

Istilah budaya politik untuk pertama kalinya muncul pada tahun 1950-an (Almond, 1956 ). Pada umumnya konsep budaya poltik itu berkaitan dengan ketidakpuasan baik terhadap pandangan politik yang mengabaikan masalah-masalah makna [dan kebudayaan, maupun terhadap pandangan cultural yang mengabaikan isu-isu politik dan kekuasaan (Welch, 1993).

Definisi budaya politik dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Kelompok yang pertama, kelompok ini beranggapan bahwa buidaya politik sebagai system keyakinan-keyakinan empiris, symbol-simbol dan nilai-nilai ekspresif Yang menentukan situasi dimana tindakan politik terjadi (Verba, 1965).

Kedua, dalam hal ini dapat dianalogikan bahwa budaya politik sebagai matriks sikap dan perilaku politik dimana system politik berada (White, 1979). Dalam pengertian yang kedua ini konsep psikologis demikian melekat, sehingga terjadi perpaduan erat dengan antropologi social dan budaya.

Pada tahun 1960, diluncurkan buku yang berjudul “political culturs” dalam buku tersebut menjelaskan bahwa budaya politik secara luas menjelaskan orang-orang yang menganut nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan pilihan-pilihan yang melegitimasi jalan hidup yang berbeda-beda. Bberbeda dengan kajian budaya politik tahun 1960-an, para penulis saat ini menekankan berbagai budaya poltik dalam masing-masing Negara dengan menitikberatkan pada perbedaan antara bangsa-bangsa dengan bangsa lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Weltch (1993) yang mengemukakan bahwa budaya bukanlah seperangkat kenyataan dimana budaya poltik merupakan subjek, ia adalah proses, dan budaya poiltik mengacu pada proses tersebut dalam aspek politiknya.

2.      Ekonomi politik

Istilah ekonomi politik mulai digunakan secara umum pada abad ke 18, yang dapat diartikan sebagai cara-cara yang digunakan pemerintah untuk mengatur perdagangan, pertukaran, uang dan pajak yang sekarang disebut kebijakan ekonomi (Sutcliffe, 2000). Sekarang ini ekonomi politik menjadi suatu profesi akademis yang semakin diakui bahkan dibeberapa universitas di Scotlandia masih merupakan istilah yang digunakan untuk mengacu kepad ilmu ekonomi. Akan tetapi ilmu ekonomi dibawah pengaruh W. S. Jevons (1879:1905) dan Alfred Marshal(1890) telah digntikan oleh ekonomi poltik diakhir abad 19.

Smpai sekarang makna kata tersebut masih agak kabur. Kadang-kadang birokrasi diartikan sebagai upaya efisiensi pemerintah, namun kadang-kadang sebaliknya, yakni pelayanan pemerintah yang berbelit-belit. Ada dua unsure yang telah disepakati yang pertama¸ birokrasi adlah pemerintah oleh pegawai, dan merupakan suatu bentuk khusus organisasi (Nelson, 2000). Yang kedua, padangan yang berasal dari [pandangan Weber, bahwa birokrasi adalah organisasi untuk menerapkan wewenang legal, suatu pemerinrahan berdasarkan hokum, dan bukan berrdasarkan manusia.

 

 

B.     PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, ILMU BANTU, DAN RAGAM PENELITIAN ILMU POLITIK.

1.      PENDEKATAN

Dalam kajian ini pendekatran terbagi menjadi dua :

a.      Pendekatan kualitatif

Pendekatan yang menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, yang bersifat deskriptif,analtik, menekankan proses, bersifat induktif, dan menurut W.R. Torbert sering disebut sebagai Collaborative Inquiri(Torbert,1981).

b.      Pendekatan kuantitatif

Pendekatan ini melalui tes, menguji, dan menstandarisasi daftar observasi maupun wawancara terbuka dan tertutup, menggunakan metode statistic untuk meneliti data dan meyimpulkan sebagai hasil penelitian. Dengan kata laian penelitian kuantitatif mencoba hal-hal yang objektif yang artinya mereka ingin kembangkan suatu pemahaman dunia sebagaimna adanya diluar sana.

 

2.      METODE

Semakin tepat kita menggunakan metode maka akan semakin baik dalam mengahampiri kenyataan politik. Hal ini sependapat dengan Iswara (1974) yang mengemukakan bahwa metode dan teknik menjernihkan substansi memisahkan khayalan dari kenyataan. Semakin intensif metode yang digunakan semakin dekat ilmu itu dengan kebenaran, semakin diperkecil peranan khayalan dan harapan yang tidak berlandaskan dengan kenyataan.

Metode ilmu politik terbagi menjadi dua :

1.      Metode induksi

Serangkaian strategi ataupun prosedur penarikan kesimpulan umum yang didasarkan pada proses pemikiran yang bersifat khusus atas dasar fakta teoritis yang khusus ke yang umum. Biasanya metode ini digunkan dalam penelitian kualitatif. Menurut Iswara (1974) yang termasuk ke dalam metode induksi adalah metode deskriptif, yang memberikan gambaran-gambaran terhadapa kenyataan yang akurat.

Hal ini berbeda dengan metode analisis, yang menekankan pada penelaahan secara mendalam terhadap masalah-masalah politik yang disusun secara sistematis dengan memperlihatkan hubungan fakta yang satu dengan yang lainnya.

Metode evaluative, merupakan serangkaian penentuan terhadap fakta-fakta yang dikumpulkan dengan dasar pada norma-norma ataupun ide-ide yang abstrak.

Kemudian yang dimaksud dengan metode klasifikasi, adalah metode yang menggolongkan atau mengelompokkan objek-objeknya secar teratur yang menunjukkan hubungan timbalbalik.

Sedangkan metode perbandingan adalah membandingkan antara persamaan dan perbedaan atas dua objek dengan maksud untuk memperdalam pengetahuan tentang objek-objek kajian politik tersebut.

2.      Metode deduksi

Adalah serangkaian strategi prosedur khusus dengan menggunakan penarikan kesimpulan dari keadaan yang bersifat umum ke yang khusus, dan biasanya metode ini digunakan dalam pendektan kuantitaif.

Menurut Iswara (1974) banyak metode-metode lain yang digunakan dlam kajian ilmu politik.

Metode filosofi, metode ini digunakan untuk meneliti masalah politik langsung yang berhubungan dengan kehidupan politik yang diteliti secara abstrak, akademis, dan teoritis.

Metode yuridis atau legalistis, merupakan penekanan prosedur penelitiannya terhadap azas-azas legal secara yuridis. Sebagai contoh penelitisn terhadap negar yang memandang bawa Negara sebgai sebuah korporasi dalam hokum public atau bisa juga dalam penelitian ini bertolak pada kesadaran hokum bahwa pada dasarnya Negara merupakan pribadi hokum, maupun badan hokum.

Metode historis, penelitian ilmu politik didasarkan pada kenyataan-kenyataan sejarah yang artinya peneltian ini memmberikan penekanan terhadap segi-segi latarbelakang, pertumbuhan dan perkembangan, hukum-hukum, sebab akibat, yang merupakan ciri khas dalam ilmu sejarah.

Metode ekonomis, dalam penelitian ini ilmu politik disangkutpautkan secara melekat dengan aspek ekonomi baik melalui pendekatan marxime maupun non marxime.

Metode sosiologis, yang memandang bahwa lembaga-lembaga politik dianalogikan sebagai fenomena-fenomena social maupun organisme social.

Metode psikologis, yang dalam kajian nya menggunkan banyak dalil-dalil psikologi sebagai acuan. Aspek politik yang sering dilihat berdasarkan perspektif motif-motif, kepribadian pemimpin maupun pihak-pihak yang menentangnya, termasuk factor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa politik.

Metode observasi, pengamatan disini diartikan dengan sistematis, teratur, terencana, berdasarkan pedoman-pedoman tertentu, serta tidak cukup dilakukan sekaali atau duakali saja melainkan secara continue atau berulang-ulang kemudian ditarik kesimpulan.

Metode analisis, metode yang menggunakan serangkaian tindakan untuk menelaah sesuatu hal secara mendalam dan terperinci untuk mengetahui cirri dari masing-masing bagian, hubungan satu sama lain serta peranannya dalam totalitas yang dimaksud.

Metode deskripsi,  metode yang memberikan gambaran politik terhadap kondisi realitasnya secara akurat dengan pencatatan-pencatatan terhadap berbagai masalah yang sedang dikaji.

Metode klasifikasi, metode yang mengelompokkan ataupun menggolongkan ubjek kajian secara teratur yang memiliki hubungan timbalbalik. Oleh karena itu, opengelompokkan ini biasanya didasarkan pada persamaan dan perbedaan terhadap jenis/bentuk maupun kualitasnya.

Terdapat aturan-aturan pokok yang menmudahkan untuk mengkelompokkannya menurut Ciarke(Isaak 1975) yaitu :

  1. Penggolongan harus masuk akal
  2. Harus ada pengelompokkan yang cukup untuk semua data
  3. Harus tidak ada pengelompokkan yang overlapping
  4. Harus hanya ada satu basis penggolongan

Metode pengukuran,  metode yang mengidentifikasi besar kecilnya objek yang diteliti baik menggunakan alat khusus ataupun tidak. Metode ini digunakan terhadap isi surat kabar, siaran radio, ataupun menghitung secara cermat perkataan-perkataan yang sering diucapkan oleh pemimpin [politik yang diteliti. Melalui perhitungan yang cermat dapat diketahui kecenderungan politik dalam masyarakat, pergeseran ideology, strategi propaganda yang dilakukan oleh suatu kelompok ekstrim.

Metode perbandingan, metode yang dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari dua peristiwa politik, Negara, kelompok, atau lebih. Metode ini banyak digunakan khususnya untuk membandingkan diantara berbagai macam pemerintahan dan Negara. Oleh karena itu, dewasa ini muncul istilah “Comparative Politics” yang menujukkan adanya perbndingan serangkaian proses dan system politik antar Negara.

3.      TEKNIK

Teknik yang digunakan dalam ilmu politik beranekaragam seperti :

  1. Field work
  2. Investigation
  3. Questioner
  4. Sampling
  5. Interview
  6. Opinionnaire
  7. Participants observer
  8. Schedule
  9. Direct observation
  10. Case studi
  11. Action research

 

4.      ILMU BANTU

Adapun ilmu bantu yang digunakan dalam kajian politik adalah:

Ilmu sejarah, dalam sejarah memberikan fakta-fakta masa lampau untuk di kaji lebih lanjut. Ilmu sejarah selalu meneropong masa lampau, sedangkan ilmu politik lebih berorientasi kedepan. Namun demikian tanpa kontribusi ilmu sejarah, ilmu politik hanya akan berupa narasi jika tanpa di dukung oleh fakta-fakta yang akurat, legitimasi keilmiahan itulah fakta yang mutlak diperlukan. Karena hal tersebut sangat di butuhkan oleh para ilmuwan politik dalam kajian-kajiannya.

Filsafat, berperan dalam ilmu politik yang mengungkap kehidupan poltik seperti sifat hakiki, asal mula nilai dan Negara. Dalam filsafat politik keberadaan manusia dan negar tidak dapat dipisah-pisahkan. Begitu jugs dalam pandangan Yunani kuno yang mencakup erat hubungannya dengan moral philosophy yang mebahas persoalan-persoalan yang menyangkut norma-norma baik atau buruk seperti halnya tindakan.

 Antropolgi,  merupakan ilmu bantu dalam politik yang memberikan kontribusi besar dalam pengertian-pengertian dan teori-teori tentang kedudukan serta peranan satuan-satuan social budaya yang lebih kecil dan sederhana. Antropologi mula-mula lebih banyak memusatkan perhatianya pada masyarakat dan kebudayaan dipedalaman, seddangkan sosiologi lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan masyarakat kota. Namun lambat laun antropologi dan sosiologi saling mempengaruhi akibatnya saati ini batas-batas antara kedua ilmu social itu menjadi kabur. Belakangan ini perhatian terhadap antropologi semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya penelitian tentang kehidupan serta usaha modernisasi politik di negara-negara baru maupun berkembang. Mulanya penelitian berkisar pada masalah-masalah makro seperti pengaruh kolonialisme perjuangan kemerdekaan dan kedudukan serta peranan para elit politik. Hal ini diperlukan pendekatan yang lebih hati-hati dalam gerakan nation building untuk dipahami berbagai karakteristiknya yang melekat kuat.

Sosiologi banyak membantu dalam memahami latarbelakang, susunan dan pola kehidupan social dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat. Dengan menggunakan teori sosiologi dapat diketahui sejauh mana susunan social mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh misalnya, keputusan kebijaksanaan, corak dan sifat  keabsahan politik, sumber-sumber kewenangan politik, pengendalian social, dan perubahan social (Budiadjo, 2000).

Psikologi social menitikberatkan pada hubungan timbalbalik antara manusia dan masyarakat, khususnya factor yang mendorong manusia untuk berperan dalam ikatan kelompok atau golongan. Psikologi memusatkan perhatiannya terhadap kehidupan orang perorangan maka psikologi social dapat diketahui apabila kita sadar bahwa analisis social politik secara makro diperkuat dengan analisis yang bersifat mikro alam kaitannya dalam kelompok-kelompok.

Ilmu ekonomi memiliki sejarah yang kuat denga dua disiplin tersebut. Pada masa silam ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan satu bidang ilmu yang dikenal dengan ekonomi politik, yaitu pemikiran dan analisis kebijaksanaan untuk memajukan kekuatan dan kesejahteraan Negara. Kemudian sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka ilmu tersebut memisahkan diri menjadi dua disiplin ilmu.

Ilmu ekonomi modern,  dewasa ini sudah memiliki ruang lingkup serta metodologinya yang begitu ketat dan terperinci. Justru karena tingginya keketatan disiplin ilmu ini memiliki tingkat prediksi untuk mas kini maupun mendatang. Inilah sumbangan besar ilmu ekonomi terhadap ilmu politik, karena dua-duanya memiliki kepentingan kajian untuk kekinian dan kedepan.

Ilmu hukum  juga merupakan ilmu bantu dalam ilmu politik. Kedua-duanya memiliki persamaan daya untuk mengatur dan memaksakan undang-undang yang merupakan salah satu kewajiban Negara yang begitu penting. Pada abad ke 19, analisis mengenai hokum serta hubungan nya dengan Negara mulai dikembangkan, tetapi hanya sebatas pada penelitian mengenai Negara-negara barat saja. Sebaliknya para sarjana hokum melihat Negara sebagai lembaga atau institusi yang mengatur hak-hak dan kewajiban manusia. Fungsi Negara adalah menyelenggarakan penertiban, tetapi penertiban ini dipandang semata-mata sebagai tata hokum. Manusia dilihatnya sebagai objek dari system hokum, dan dianggap sebagai pemegang hak serta kewajiban politik. Ilmu hukumm tidak melihat manusia sebagai makhluk social budaya. Akibatnya ada kecenderungan pada ilmu hokum yang meremehkan kekuatan social dan budaya. Namun dari aspek daya yang memaksa inilah ilmu politik memandang perlu untuk mengungkap kaitannya dengan kesadaran maupun partisipasi politik.

Ilmu geografi, merupakan ilmu bantu dalam ilmu politik terutama factor-faktor yang berdasasrkan lokasi, perbatasan strategis, desakan penduduk, daerah pengaruh mempengaruhi politik. Dengan demikian geografi memiliki peranan besar dalam ilmu politik, bahkan bukan sekedar pengaruh yang disebutkan diatas tetapi sebagai suatu Negara itu jelas memerlukan persyaratan-persyaratan yang diantaranya juga wilayah yang berdaulat.

 

C.    TUJUAN DAN FUNGSI ILMU POLITIK

Ada tiga tujuan dalam mempelajari ilmu poltik :

Pertama, perspektif intelektual : sebenarnya tujuan politik adalah tindakan politik. Untuk mencapai itu diperlukan pembelajaran untuk memperbesar kepekaan sehingga ia dapat bertindak. Agar dapat bertindak dengan baik secara politik, orang perlu mempelajari azas dan seni politik, nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat. dengan

demikian orang belajar, bagaimana kekuasaan dapat dijinakkan dan diabadikan kepada tujuan manusi yang positif. Metode pembelajaran nya pun sudah mengenal metode yag bersifat kritis. Tujuannya untuk menelaah kesalah-kesalahan dan berusaha untuk mengurangi ketidaktahuan. Walapun ajaran kritis tersebut pada prinsipnya bersifat intelektual, tetapi dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat praktis. Jadi perspektif intelektual dalam politik adalah perspektif yang mempergunakan diri sendiri sebagai titik tolak. Sebab perspektif itu bertolak dan dibangun berdasarkan apa yang dianggap salah oleh individu, maka pemikiran individu itu yang akan memperbaikinya.

Kedua, perspektif politik : pandangan intelektual mengenai politik tidak banyak berbeda dengan pandangan politisi. Bedanya terletak jika politisi bersifat segera, sedangkan intelektual dapat menjadi politisi jika ia mampu memasukkan masalah politik dalam pelayanan suatu kepentingan ataupun tujuan. Sebagai contoh sebuah kasus dengan adanya system pemiliha langsung di Indonesia, banyak intelektual yang bersedia menjadi calon legislative dan eksekutif pusat dan daerah. Dengan kampanye yang bergaya orator mendadak, dalam waktu singkat mereka mempersiapkan dan menggunakan strategi dari yang teoritik menjadi suatu kerangka kerja yang bersifat praktik. Sedangkan kaum intelektual menaruh perhatian dalam tiga dimensi yaitu, hari kemarin, hari ini, dan hari esok.

Ketiga, perspektif ilmu politik : dalam hal ini politik dipandang sebagai ilmu. Jika para politisi memandang politik sebagai pusat kekuasaan public, maka kaum intelektual memandang politik sebagai perluasan pusat moral dari diri.

Tentu saja ilmuwan politik professional memandang politik sebagai suatu system, sebagai perubahan-perubahan terorganisir yang saling berinteraksi yang meliputi pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan, kebijaksanaan termasuk individu-individu.

Menurut Leo Straus (1959) dan Sheldon Wolin (1960) mengemukakan bahwa tugas untuk ilmu politik adalah untuk mendapat kearifan tentang sifat-sifat manusia dan politik.

Kemudian muncul pendapat serupa yang lebih mutakhir, adalah Robert Flower dan Jeprey Orenstein (1985) yang mengemukakan bahwa ilmu politik terutama teori-teori politik melibatkan refleksi konsep-konsep politik dasar, analisis pandangan-pandangan alternative tentang manusia dan politik serta pengejaran kebenaran normative tentang sifat-sifat rezim terbaik. Ditinjau dari sisi ini maka filosofi politik adalah kegiatan yang kreatif dan kritis dimana setiap generasi bisa berpartisipasi dalam tradisi berkelanjutan yang menyatukan masa kini dan masa lalu (Losco dan Williams, 2003 :2).

Politik tetap merupakan sesuatu yang manusia lakukan. Bukannya sesuatu yang mereka miliki. Atau lihat, atau bicarakan, atau pikirkan. Mereka yang akan melakukan sesuatu dengan nya harus lebih dari sekedar berfilosofi dan filosofi yang secara politik mudah dipahami harus mengambil tindakan politik sepenuhnya dari politik sebagai sebuah sikap. (Liberal Philosophy in Democratic Times: 1988).

 

D.    SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN ILMU POLITIK

Lahirnya ilmu politik secara formal memang sejak abad ke 19, namun sangat beragam darimana mulai lahirnya ilmu politik itu. Budiardjo (2000) secara resmi politik diakui sebagai ‘disiplin ilmu’ itu sejak berdirinya ‘Ecole Libre des Science Politiques’ di Paris tahun 1870, dan di London ‘School of Economic and Political Science tahun1895.

Lain lagi dengan David E. Apter yang mengatakan bahwa ilmu ini sangat bercorak Amerika, karna hal ini berawal dari konstitusi. Orang Amerika mempunyai keyakinan besar bahwa mereka tidak saja dapat merancang suatu konstitusi yang sempurna bagi pemerintahan mereka sendiri, tetapi senantiasa juga dapat memperbaiki cara-cara kerjanya.

Hingga hari ini, ilmu politik petama-tama dan terutama adalah rangkaian asas dan resep untuk kemajuan.

 

Pembahasan tentang Negara sudah ada sejak 450 SM di Yunnani kuno. Seorang ahli sejarah Herodotus (480-430 SM) maupun filsuf-filsuf ternama Yunani seperti Plato (427-347 SM) karya-karyanya Politeia (tentang hal ikhwal politik), Kriton (tentang ketaatan terhadap hokum), dan Aristoteles (384-322 SM) sudah banyak berbicara tentang filsafat politik. Begitu juga filsuf Cina kuno Kung Fu-tze atau Confius (551-479 SM), Meng-Tse (Mencius), dan Li-Tze (350 SM) seorang aliran perintis legalitas telah banyak berbicara tentang politik.

Apabila ilmu politik merupakan disiplin ilmu yang bercorak Amerika, maka cikal-bakalnya adalah Eropa Klasik. Ide rasionalitas berasal dari Yunani, maka ide mengenai hokum berasal dari Romawi, sedangkan perhatian pada persamaaan, kebebasan, dan kekuasaan terutama diambil dari konsep-konsep yang berasal dari Prancis dan Inggris. Perbedaan antara praktek politik di Eropa dan di Amerika demikian berjauhan, karena di Amerika tidak ada lembaga tradisional seperti Monarki, dan karena adanya pertalian antara tradisi dan tirani di Eropa dalam pikiran orang-orang Amerika, maka orang-orang Amerika lebih dari orang-orang manapun sebelumnya selalu mengaitkan politik dengan asas-asas pemerintahan yang universal, masuk akal, dan karena itu sudah nyata dengan sendirinya.

Bagi orang-orang Amerika, politik adalah seni dari orang-orang yang sangat berpendidikan. Jika bangsa Eropa lebih menekankan filsafat morla dan yurisprudensi, sedangkan tradisi amerika lebih menekankan disiplin ilmu terapan, mengingat Amerika pemegang terbesar faham pragmatism (Kattsoff,1996).

Filsafat politik tidak berawal dari ilmu pengetahuan, melainkan dari pemikiran dalam tujuan-tujuan manusia. Mulailah paradigma rasional menggantikan pandangan dunia yang lebih irasionil dan mistik yang hidup sebelumnya.

Kemudian, ilmu pengetahuan menggantikan hal itu dengan keteraturan. Keteraturan tidak lagi berasal dari pradigma mistik melainkan dari paradigm ilmiah. Orang-orang Yunani mulai menyingkirkan peranan para dewa dengan obyek-obyek yang rasional. Oleh karena itu alam pun ditanggapinya tidak berbau mistik melainkan lebih masuk akal.

Orang mulai memandang dirinya sebagai bagian dari alam dan tunduk pada kaidah-kaidahnya. Kaidah ini dianggap kekal karena menentukan keteraturan dalam segala hal. Demikianlah awal tradisi intelektual bangsa Yunani, yang tidak sekaligus menerima ilmu pengetahuan, melainkan mereka mereka menerima analisi moral. Di sini Socrates (469-399 SM), orang pertama yang menyadari bahwa ilmu alam tidak bisa memberikan penjelasan atas tingkah laku manusia.

Pada decade ini, politik merupakan suatu fungsi antara penguasa dan yang dikuasai. Baik itu pemerintah yang dijalankan satu orang, beberapa orang, atau banyak orang. Yang penting dapat mendatangkan kebajikan. Kuncinya adalah bahwa rakyat harus memiliki akal sehat yang memungkinkan pemikiran politik yang dimilikinya akan memiliki kualitas moral dalam kehidupan perorangan dan masyarakat. Dengan demikian model politik klasik sebelum plato cukup terdiri atas penguasa dan yang dikuasai, cara, dan tujuan. Model ini pada dasarnya mengandung kekuasaan yang abstrak.

Pendeknya dalam paradigma politik waktu itu adalah yang terpenting baagaimana untuk mecari keselarasan dan keseimbangan antara penguasa dan yang dikuasi. Yang akan melayani tujuan pihak lain sebagaimana tujuan bersama.

Lain lagi dengan zaman Plato (427-347) kebajikan berisi pengetahuan mengenai hal-hal yang baik, karena itu masalahnya adalah membangun Negara yang didalamnya semua orang tertarik pada kebajikan. Selain itu Pythagoras (582-507) kebajikan itu abstrak dan bahwa pengetahuan mengenai yang abstrak lebih nyata dari pada yang berwujud dalam dunia empiris maupun inderawi (Losco dan William, 2003)

Konsep-konsep tersebut memberi pengertian mengenai mentafisikan dari bentuk-bentuk ideal. Bahwa manusia dapat didasarkan pada pemahan abstrak mereka (Apter, 1996). Dan Plato percaya bahwa bentuk abstrak merupakan dasar keabadian manusia.

Suatu pukulan batin bagi Plato ketika ia harus kehilangan Socrates yang dihukum mati oleh Athena. Plato merasa hancur, kemudian Plato mengembara. Sekembalinya Plato mendirikan sebuah akademi pengetahuan, bahkan Aristoteles pun belajar disini. Kematian Socrates menunjukan kepada Plato, tidak hanya pentingnya pengetahuan yang tak terkekang, tetapi juga perlunya pendidikan public.

Kebesaran Plato bagi kita bukan terletak pada kesegaran visinya ataupun pada teorinya, tetapi lebih kepada kenyataan bahwa teorinya merupakan teori pertama mengenai Negara Ideal (Apter, 1996)

Hal ini berbeda dengan Aristoteles (384-322 SM) walaupun dia mengakui Plato sebagai gurunya, tetapi secara kepribadian jelas berbeda. Aristoteles menerima model Plato tetapi mengubah fokusnya. Bukannya membayangkan suatu struktur konsep geometris untuk diterapkan pada masalah sosial, tetapi ia berusaha menyeimbangkan kebutuhan logis dengan pandangan yang lebih praktis tentang dunia nyata. Aristoteles meragui kebaikan orang-orang bijak, dan lebih menyukai pemerintahan berdasakan hukum (d’Enterves, 1967). Hal yang paling banyak diharapkan adalah kebahagiaan yang bijaksana. Begitu juga paham kebijaksanaan yang diperluas kedalam model-model Platonis, dimana hubungan antara penguasa dan rakyat ditentukan oleh bentuk-bentuk konstitusi seperti wewenang dapat dijalankan lebih baik melalui tujuan kolektif bila tujuan individu dilindungi kekuasaan wewenang berdasarkan hukum.

Begitu juga tentang hirarki, Aristoteles berpendapat bahwa sebagian besar orang berada disembrang tempat antara yang pandai dan kurang pandai, si kaya dan si miskin, karena itu kelas menengah yang lebih dominan. Sebab ia berpendapat bahwa realitas itu adalah sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan. Selain itu baginya kebaikan etis dan kebijaksanaan praktis harus berjalan bersama. selain itu Aristoteles yakin bahwa Negara harus mewujudkan kemampuan individu. Rakyat bahagia bila merika bersikap etis dan juga praktis. Jika hal itu dimaksimalkan maka tujuan rakyat menjadi potensi Negara.

Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan paradigma tekratis, di mana ide hukum alam ke hukum manusiawi. Dalam dunia Romawi hakim menggantikan filosof raja. Tetapi dunia Kristen menampilkan hal yang berbeda dimana hakim-hakim bisa menjadi suci atau raja. Masalahnya adalah mengkombinasikan kepercayaan fundamental pada Tuhan dan hukum alam.

Dengan demikian dapat disimpukan dari Tuhan datanglah wahyu, dari wahyu datanglah nalar, dari nalar dating lah hukum alam, dari hukum alam lahir lah hukum praktis yang mengatur harta, warisan, dinas, militer, dan kewajiban lainnya.

Pada akhir abad pertengahan dua prinsip penting muncul yang mendorong transisi ke masa pencerahan yang dimulai pada abad ke 16. Prinsip pertama, penguasa atau raja merupakan wakil rakyat, dengan lingkup kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi yang sifaatnya terbatas. Prinsip kedua, komunitas politik bukan terdiri dari hak-hak pribadi individu, melainkan hak-hak dewan perwakilan. Rakyat diwakilkan dalam kedudukan politik sebagai warga Negara (Apter, 1996: 74). Sebuah dewan perwakilan menjalankan pengawasan terhadap penguasa yang merupakan dasar hak-hak individu dan perwakilan.

Prinsip-prinsip tentang hak warga Negara dan pembatasan konstitusional terhadap kekuasaan para penguasa menjadi sekuler tatkala pengertian-pengertian ini berkembang menjadi teori kontak sosial, dalam hal mana penguasa dan rakyat menjalin hubungan hukum atau konstitusional mereka melalui perjanjian. Selama masa pencerahan, masyarakat yang selama abad pertengahan dianggap sebagai sebuah badan hukum kemudian menjadi berlandaskan konstitusi. Hal ini perlu diketahui bahwa dalam Negara modern korporasi sosial tidak lagi menjadi satu rangkaian hubungan sosial yang ketat, melainkan sebuah sosial yang lebih mekanistis pola fisika Newtonian (Newton hidup tahun 1642-1727). Seperti fisika politik berjalan menurut aturan-aturan yang disusun di atas ide mengenai unit terkecil, dalam fisikaa yaitu atom. Sedangkan dala politik adalah individu.

Namun masalahnya manusia bukanlah atom, sebab merek dapat bernalar, mereka perlu kebebasan, mereka berprilaku.

Dalamm hal ini terdapat peristiwa penting, diantaranya : kemenangan kerajaan atas gereja dalam perjuangan besar antara raja dan paus. Kemudian ketika paham Kristen pada abad pertengahan merosot, para penguasa menjadi asyik mempertahankan kekuasaan yang menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Paradigm teokratis akhirnya tergeser dengan persekutuan sekuler, yang akhirnya digantikan oleh pencerhan. Sejak itu hak-hak rakyat bukan kekuasaan penguasa dan cara-cara melindunginya menjadi perhatian utama politik. Pemecahan universal haruslah pemerintah perwakilan, yang dikenal dengan demokrasi politik (Apter, 1996: 76).

Tokoh utama transisi ini adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527). Dialah yang merasa jemu dengan pertengkaran doktrin, dan ia membuka jalan bagi pemikir kekuasaan yang sekuler.

Dengan menawarkan sebuah analisis empiris yang rasional tentang Negara dan politik modern, ide-idenya dipandang sebagai sebuah kunci munculnya ilmu politik kontemporer.

Machiavelli percaya bahwa rezim-rezim masuk kedua tipe yaitu kepangeranan, untuk mempertahankan kepangeranan diperlukan penguasa yang bijak dengan mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan, dan kebaikan Negara. Kemudian Machiavelli mengalihkan perhatiannya dengan menekankan tentang penciptaan, penjagaan, dan renovasi sebuah pemerintahan republic yang demokrasi. Perhatian utmanya adalah untuk mendorong stabilitas dan kebebasan dengan menghindari pengaruh-pengaruh korupsi yang membuat lemah negara.

Kemudian Machiavelli membukakan jalan kepada dua penerus cemerlang. Pertama adalah Thomas Hobbes (1558-1674). Dalam buku Leviathan (1651), Hobbes bertolak dari pengembangan pengertian negara yang jauh berbeda dengan pengertiaan negara pada abad pertenghan.

Lain halnya bagi Hobbes, tidak ada komunitas alamiah yang bertindak sebgai kekuatan hidup yang segera terwujud, kecuali suatu ciptaan khayal. Komunitas itu tercipta karena manusia memiliki nafsu, mempunyai imajinasi, kemampuan berbicara, dan terutama kemampuan bernalar.

Bagi hobbes ketertiban merupakan syarat tertinggi, disinilah peran Hobbes sebagai orang pertaama yang dapat mendefinisikan dan mengubah kepentingan pribadi dalam keuntungan public (Apte, 1996).

Ia memastikan bahwa nilai yang ditentukan orang pad dirinya itu berbeda bagi setiap orang. Memang, orang tidak dapat menentukan harga diri mereka, tetapi nilai sesungguhnya seseorang akan diukur oleh pendapat orang lain mengenai harga diri orang tersebut. Orang-orang yang besar kepala, penakut, ambisius, dan masa bodoh akan menceburkan dalam konflik yang sia-sia. Disinilah kebijaksanaan tertinggi adalah menyerhkan wewenang kepada kekuasaan itu. Namun alternativnya juga adalah kekacaauan.

Kemudian ada semboyan Hobbes yang terkenal yaitu homo homini lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya). Mengingat bahwa pada dasarnya manusia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik. Dalam hal ini diperlukan seorang hakim yang berdiri atas semua hukum.

Piagam ini mempunyai kekuatan hukum. Dalam keadaan seperti ini, kebebasan tidak lagi tertanan pada individu-individu. Sesuai dengan pernayataan kebebasan bukanlah hak setiap orang sejak lahir, melainkan hak dari public saja (Hobbes: 1905).

Kemudian ada tokoh pencerah lagi yaitu Jean Jaques Roussea yang mewakili sudut pandang alternative dan memberikan kekuasaan besar kepada komunitas sebagai keseluruhan. Tetapi diantara Hobbes dan Roussea terdapat dua orang lain lagi terutama John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755).

Perbedaan pendapat Hobbes dengan Locke adalah tajam. Locke memandang keadaan alamiah bukan sebagai suatu kondisi perang, melainkan sebagai suatu kondisi yang ramah.

Pelaksanaan pekerjaan dan pencarian harta merupakan faktor penting untuk ditelaah. Sebab melalui kerja dapat mengubah produk-produk alam enjadi sesuatu yang bernilai. Karna pekerja mengolah tanah yang menghasilkan, maka kerja menjadi lebih penting daripada nilai tanah itu sendiri.

Karena itu yang lebih rajin menjadi lebih kaya, sebab mereka bersedia bekerja lebih keras dan mempergunakan lebih banyak harta. Perbedaan penting antara inndividu-individu adalah kemampuan produktif kerja mereka (locke, 1948: 46).

Kontribusi penting teori Locke adalah tentang hubungaan anatara harta dengan persetujuan. Pengertian harta menurut Locke sedikit berbeda dengan yang sering kita artikan, harta yang dimaksud disini adalah kemampuan yang ada dalam dirinya sendiri yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain kecuali dirinya sendiri, seperti kerja badannya dan kerja tangaannya.

Menurut Locke, orang-orang membentuk persekutuaan untuk memelihara kehidupan, kebebasan, dan keberuntungan mereka melalui kaiddah mengenai hak dan harta yang tetap menjamin kedamaian dan ketenangan mereka.

Dengan demikian bagi Locke tanggungjawab politik berasal dari hubungan-hubungan akan harta. Bagi Locke orang dilahirkan secara alamiah bebas dari keharusan patuh kepada pemerintahan apapun dan tidak akan membelenggu diri mereka secara politik.

Hal ini sedikit berbeda dengan Montesqieu (1689-1755), yang menjelaskn bagaimana evolusi berbagai bentuk perdagangan dalam dunia kuno mempengaruhi sistem politik. Montesqieu berpendapat bahwa manusia tidak senantiasa buruk tetapi mereka juga tidak senantiasa baik, apapun sifat manusia kebebasan individu merupakan dasar kesejahteraan. Baginya bahaya terbesar adalah konflik antar bangsa atau perang.

Untuk mengatasi kondisi perang inilah diperkukan hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara merdeka, mengatur hubungan antar individu-individu, dan menentukan hubungan anatara penguasa dengan rakyat. Dalam pendapatnya yang banyak dianut hingga kini adalah bahwa negara yang cocok untuk memaksialkan kebebasan dan menyeimbangkan persamaan adalah negara dimana kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif perlu dipisahkan sendiri-sendiri. Menurutnya negara semacam inilah yang akan menghasilkan ketenangan pikiran, ketentraman yang dapat dirasakan oleh setiap pribadi merupakan unsure hakiki kebebasan politik(Apter, 1996).
Pada hakikatnya Rousseau setuju dengan pendapt Locke bahwa harta harus dilindungi, dipelihara, dan dijamin oleh hukum negara. Oleh karena itu pemerintahan apapun cenderung memerintah secara paksa. Seseorang menyetujui hal itu, secara diam-diam telah melepaskan hak individu, karena mengasingkan kebebasan seseorang adalah tinakan yang tidak wajar.

Menyerahkan kebebasan seseorang adalah menyerahkan kualitasnya sebagai seorang manusia, hak dan juga kewajiban kemanusiaan.

Disatu sisi peikiran Rousseau menggambarkan seorang radikal tetapi dia bukan seorang sosialis. Rousseau berpendapat bahwa kebebasan dan persamaan merupakan tujuan-tujuan masyarakat terpenting, meskipun ia mergukan keungkinan persamaan sempurna itu. Perbedaan Locke dengan Rousseau, ia menganggap betapa pentingnya persamaan bagi manusia, dan menekankan akibat-akibatnya yang diabaikan oleh Locke, dimana ketimpangan menghasilkan ketidakadilan dasar-dasar ketidakserasian. Inilah yang harus dipecahkan persoalannya melalui kontrak sosial (Rousseau, 1948). Melalui kontrak sosial inilah tindakan melakukan perjanjian seperti melibatkan hubungan timbalbalik antara public dan individu.

Pada abad ke 19 penolakan terhadap hukum alam terjadi dan erka bersandar pada filsafat utilitarianisme yang perintisannya sudah dimulai sejak zaman David Hume(1771-1776) dan Beccaria(1738-1794), namun secara formal Jeremi Bentham(1748-1832), yang membentuk teori formal tentang reformasi sosial.

Bentham mengemukakan prinsipnya dalam perubahan perundang-undangan berdasarkan semboyan bahagia terbesar untuk sebanyaknya manusia artinya kebahagiaan dideskripsikan menikmati kesenangan, rasa aman dari penderitaan, disamakan dengan kebaikan dan ketidakbahagiaan atau penderitaan yang disamakan dengan kejahatan. Tindakan yang benar adalah tindakan yang meningkatkan kebahagiaan, sedangkan tindakan yang salah adalah tindakan yang menghilangkan kebahagiaan.

Sebagaimana yang dipahami Bentham, doktrin utilitas ini mempunyai watak yang sepenuhnya kuantitatif, tidak mengakui adanya perbedaan kualitas atau jenis kesenangan.

Doktrin tersebut sangat mempengaruhi pikiran David Ricardo(1772-1823) dan John Stuart Mill (1773-1836).

Mill menambahkan perkembaangan karakter individu. Yang menyatakan bahwa tujuan pokok manusia adalah penyempurnaan diri, bukan pencapaian kesenangan. Sebab kehidupan yang diabdikan untuk pencarian kesenangan pribadi adalah sama sia-sianya dengan tingkah laku yang mengabaikan keseluruhan watak manusia, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang rasional.

Mill yang menyadari dengan keberatannya bahwa utilitarianisme adalah doktrin yang bersifat hedonistic, ia berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakter kualitatif dan kuantitatif.

Konep Mill tentang individualism adalah konsep tipikal dari liberalism abad ke 19. Meskipun pemenuhan diri manusia ditekankan dalam semua karya-karyanya, tetapi pemenuhan ini harus selalu terjadi dalam konteks kebaikan umum. Mill juga menolak teori kontak sosial dengan mengatakan bahwa tidak ada tujuan baik yang bisa dijawab dengan menemukan kontrak dengan maksud untuk menyimpulkan kewajiban-kewajiban politiknya.

Selain itu Mill yakin bahwa pemerintah oleh mayoritas adalah cara yang paling praktis untuk mengatur masyarakat, dan ia sangat sadar perlunya menjaga hak-hak minoritas.

Ternyata baik empiris maupun individulisme tidak lepas dari tantangan yang dihadapinya. Kedua aliran ini menyulut serangan balik yang kuat terutma dari kaum idealistis yang pada prinsipnya memiliki beberpaa pengertian:

  1. Teori bahwa alam semesta adalah suatu penjelmaan pikiran
  2. Untuk berekstensi realitas tergantung pada suatu pikiran dan aktifitas pikiran
  3. Seluruh realitas itu bersifat mental. Materi yang fisik tidak ada.
  4. Tidak ada pengetahuan yang mungkin selain pada keadaan dan proses-proses mental.
  5. Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, ide-ide, roh, dan seterusnya dn bukan berkenaan dengan materi.
  6. Hanya aktifitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. Di dunia eksternal tidak bersifat fisik (Bagus, 2000).

Beberapa aspek dari doktrin yang terkait dengan perkembangan teori politik tertuang dalam karya yang terkenal Das Kapital. Salah satu alasan mengapa Marx menjadi tokoh yang begitu penting, karena ia mewakili suatu campuran yang intelektual yang berhasil dalam ekonomi, politik, sosial yang memandang dunia dengan perasaan dingin serta mencari suatu masa depan yang lebih bermoral dan lebih bebas bagi manusia. Teori dialektika materialism historis Marx didasarkan pada beberapa pokok pikiran:

  1. Perkembangan historis berlangsung melalui sintesis ketegangan atau kontradiksi yang inheren dialektika
  2. Institusional sosial dan politik dibentuk dan ditentukan oleh ekonomi materialism historis
  3. Gerakan dialektik sejarh terungkap dalam pertentangan atau konflik antar kelompok-kelompok ekonomi (Schmandt, 2001)

Cara-cara yang akan ditepuh untuk encapai tujuan ini terdapat dalam manifesto komunis 1847, sebagai berikut :

  1. Penghapusan pemilikan dan peberlakuan semua pajak untuk kepentingan umum
  2. Pajak pendapatan yang progresif dan dikelompokkan menurut kelas-kelas
  3. Penghapusan semua hak waris
  4. Serampasan harta milik semua emigrant dan pemberontak
  5. Sentralisasi alat-alat komunikasi dan transportasi ditangan  negara
  6. Sentralisasi kredit ditangan negara melalui bank nasional
  7. Perluasan pabrik-pabrik dan alat-alat produksi yang dimiliki negara, mengolah lahan-lahan tidur, dan memperbaiki keadaan tanah menurut rencana umum
  8. Kewajiban yang sama bagi semua orang untuk bekerja dan pembagunan sarana-sarana industri, khususnya untuk pertanian
  9. Penggabungan pertanian dengan insudtri, penghapusan secara bertahap perbedaan antara kota dan desa melalui penyebaran penduduk yang lebih seimbang ke desa
  10. Pendidikan gratis bagi semua anak-anak di sekolah-sekolah umum dan penghapusan pekerja anak-anak yang ada sekarang

Setelah Marx meninggal, warisan radikal menjadi terpech belah.

Pertama, tradisi lenin : yang memandang perlunya transformasi militant dari kapitalisme yang paling lemah dipinggiran sampai ke pusat.

Kedua, pemikiran yang lebih demokratis : bahwa transisi revolusioner dapat terjadi melalui cara-cara parlementer.

Kemudian paham tingkah laku yang mengalihkan perhatiannya kepada lembaga kepengkajian mengenai bagsimana orang bertingkah laku dan apa yang mendorong tingkah laku mereka. Paham ini menyangkut pendapat dan pereferensi orang-orang, apa yang menyebabkan mereka melakukan tindakan kekeraasan, kapan mereka mematuhi peraturan, apakah mereka menyesuaikan diri dengan pandangan yang bertentangan, bagaimanakah pandangan merek diubah, kapan mereka berpartisipasi dalam politik, serta bagaimana semua faktor itu mempengaruhi keanggotaan mereka dengan partai politik dalam kehidupan poliitk.

Lain halnya dengan paham kemajemukan yang menekankan perpaduan antara kelembagaan dan tingkah laku. Perhatian utamanya terletak pada cara-cara partisipasi demokrasi dan efeknya terhadap proses belajar dan tingkah laku.

Paham structural menekankan pada agenda tersembunyi dibelakang politik, fokusnya terhadap teori pertukarrn anaalisis peran, analisis kelas, analisis marxis, fungsionalis, dan linguistic.

Kemudian yang terakhir adalah paham developmentalisme  yang menekankan perhatiannya pada masalah-masalah transisi pertumbuhan dari jenis system politik lama ke yang baru, dan bagaimana inovasi-inovasi itu terjadi, efek-efeknya, distribusinya, munculnya negara-negara baru, nasionalisme yang berjuang melawan kolonialisme dan imperialism.

 

E.     HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN ILMU-ILMU SOSIAL LAINNYA

Keterkaitan ilmu sosiologi dan ilmu politik dapat dilihaat pada hubungan dimana sosiologi banyak membantu memahami lataar belakang, susunan dan polaa kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat (Budiardjo, 2002: 20).

Selain itu baik sosiologi maupun politik juga mempengaruhi institusi makro seperti negara. Hanya saja kalau sosiologi menganggap negara itu sebagai salah satu lembaga pengendaliaan sosial. Disamping itu sosiologi melihat bahwa negara juga sebagai salah satu asosiasi dalam masyarakat dan memperhatikan bagaimanaa sifat dan kegiatan anggota asosiasi itu mempengaruhi sifat dan aktifitas negara. Dengan deikian sosiologi dan ilmu politik negara mempunyai persamaan pandangan bahwa negara dapat dianggap baik sebagai asosiasi maupun sebagai system pengendalian. Hanya saja bagi ilmu politik negara merupakan objek penelitian pokok, sedangkan dalam sosiologi negara hanya merupakan salah satu dari banyak asosiasi dan lembaga pengendalian masyarakat (Budiardjo, 2000).

Ilmu antropologi dengan ilmu politik, kita tahu bahwa mula-mulaa antrolpologi lebih banyak memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan kebudayaan didesa-desa dan pedalaman, sedangkan sosiologi  lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan masyarakat kota.

Sekarang ini perhatian sarjana ilmu politik terhadap antropologi makin meningkat sejalan dengan bertambahnya perhatian dan penelitian tentang kehidupan serta usaha modernisasi politik di negara-negara baru. antropologi telah berpengaruh dalam bidang ilmu metodelogi ilmu politik. Salah satunya yaitu metode partisipan of server yang mendorong para peneliti ilmu politik untuk mengamati fenomena-fenomena kehidupan sosial yang sifatnya dari dalam masyarakat menjadi objek penelitiannya.

Ilmu sejarah dengan ilmu politik, Nampak sejak dulu hubungan ilmu sejaarah dengan ilmu politik sangat mempengaruhi. Sejarah banyak menyumbangkan fakta-fakta masa lampau untuk diolah dalam ilmu politik lebih lanjut. Perbedaan antara ilmu sejarah dengan ilmu politik terletak pada sasarannya. Ilmu sejarah meneropong masa lampau sedangkan ilmu politik manaropong masa depan.

Ilmu geografi dengan ilmu politik, Nampak dari beberapa faktor yang menyangkut geografis seperti bentuk daratan, perbatasan dengan negara lain, kepadatan penduduk, kesuburan dan kandungan mineral yang dimilikinya, maupun letak wilayah itu. Jadi hubungan ilmu geografi dengan ilmu politik terletak pada ilmu politik berada di dalam geografinya.

Ilmu ekonomi dengan ilmu politik, Nampak baik dari aspek sejarahnya maupun peranan ekonomi dalam politik maupun sebaliknya.sekarng ini political ekonomi telah berkembang dengaan memisahkan diri dalam ilmu ekonomi dan ilmu politik. Namun demikian dua ilmu sosial tersebut masih begitu erat saling mempengaruhi. Selaanjutnya dalam mengajukan kebijaksanaan ataau siasat ekonomi, seorng ahli ekonomi juga dapat bertanya kepada seorang ahli politik tentang politik mankah yang paling mungkin baik disusun guna mencapai tujuan ekonomi yang diharapkan. Begitu juga seorang ahli politik dapat meminta bantuan ahli ekonomi tentang syarat-syarat ekonomi yang harus dipenuhi guna memperoleh tujuan-tujuan politis tertentu, terutma mengenai pengembangan kehidupan berdemokrasi.

Ilmu psikologi dengan ilmu politik, nampak disitu bahwa psikologi banyak mempelajari aspek-aspek intern dan proses-proses mental yang terjadi. Hubungannya ilmu psikologi dengan ilmu politik adalah kita dapat mengetahui beberapa aspek seperti latarbelakang pemimpin apakah dia berhasil atau gagal ditinjau dari aspek individunya. Kita juga bisa menyimak kepemimpinan begitu disenangi maupun dibenci oleh masyarakat luas.

 

F.     MAZHAAB-MAZHAB ILMU POLITIK

paham institusionalise atau kelembagaan, berusaha mewujudkan pemecahan-pemecahan universal dengan menerjemaahkan cit-cita libertarian ke dalam pemerintahan perwakilan.

Kekuasaan adalah kekuatan yang dapat dipakai dan dikendalikan. Persoalan besar sejarah adalah mengubah kekuasaan mutlak untuk dapat diubah ke arah demokrasi. Dala demokrasi, pemakaian harus sesuai dengan patokan-patokan kewajaran atau keadilan. Hukum menciptakan wewenang dan memungkinkan perwakilan menjadi sarana pembuat hukum. Demokrasi adalah system-sistem yang menjamin kebebasan. Kebebasan-kebebasan ini diabadikan dalam hak-hak, yang diungkapkan secara politik dan perwakilan.

Ada tiga wewenang yang merupakan perhatiaan utama kaum institusionalis yang pertama, badan legislative : badan ini merupakan pengawas terpenting terhadap kekuasaan yang nyata maupun potensial. Badan-badan ini terdiri atas wakil rakyat yang bertugas menijau, mengkritik, mengusulkan perubahan, memperbaiki dan sering menolak rancangan undang-undang.

Kedua, badan eksekutif: badan ini bertanggungjawab sesuai dengan makna yang terkandung dalam namanya, yaitu melaksanakan keinginan-keinginan rakyat. Dalam system demokrasi, eksekutif bertindak atas nama rakyat. Eksekutif harus memimpin, tetapi harus tanggaap juga terhadap rakyat. Sebab public secara kontradiktif mengharapkan agar eksekutif :

  1. Mengmbil inisiatif
  2. Tidak melakukan sesuatu tnpa berkonsultasi dengan public

Ketiga, badan yudikatif : pemerintahan memang rumit. Dengan adanya yurisdiksi-yurisdiksi kekuasaan yang dibatasi konstitusi dalam hal mana mereka harus saling berhubungan dalam urusan pembuatan kebijaksanaan. Jika demikian halnya diperlukan adanya pengadilan tinghi yang berfungsi sebagai wasit agung untuk masalah0masalah penafsiran konstitusional.

Paham behavioralisme, kaum institusionalisme mengetahui bahwa meskipun system pemmilihan itu penting, namun bentuk perwakilan presidensil dan parlementer, pengawasan parlemen terhadap eksekutif, pemisahan atau pembagian kekuasaan, tidaklah dengan sendirinya menentukan bagaimana jalannya suatu system politik berjalan. Dalam arti diperlukan lebih kesetiaan para pemilih. Disinilah para penganut paham tingkah laku memalingkan perhatiannya daari system politik untuk mengamati tindakan politik individual (Apter dan Andrian, 1972). Dengan demikian perhatian utama paham tingkah laku tersebut terletak pada hubungan antara pengetahuan politik dengan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang menyadari peristiwa-peristiwa politik.

Paham pluralism, paham ini sebenarnya dibangun ats dasar perpaduan paham kelembagaaan dan paham tingkahlaku. Pluralise menekankan partisipasi partai sebagaai penghubung antara masyarakat dengaan pemerintah , dengan demikian bentuk hubungan-hubungan dinamis diantara mereka. Paham ini juga menekankan proses diatas struktur, serta lebih sedikit perhatiannya terhadap bagaimana kerja badan-badan pemerintah, legislative, komite-komite, diantara berbagai kelompok baik public maupun swasta. Pluralism tebagi menjadi dua : pluralism liberal, yang menyerukan pembetukaan elit, kompetitif yang diambil dari berbagai rekanan dan bertanggungjawab baik kepada para pendukung maupun kepada  sistem politik. Pluralitas radikal, menekankan penciptaan cara-cara partisipasi baru yang seharusnya mengurangi kebutuhan akan koordinasi dan control (Apter, 1995).

Paham strukturalisme, paham ini berasal dari linguistic, antropologi, filsafat, dan sosiologi. Strukturalisme berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi dan aktifitas-aktifitas manusia.

Paham developmentalisme, yang kajiannya mencakup kearah sasaran melalui pertumbuhan ekonomi. dasar pemikiran developmentalisme merupakan sebuah ideology bahwa pertumbuhan merupakan sejarah yang diperankan dalam seperangkat tahapan. Menurut Nash (1965), terdapat empat metode dalam kajian developmentalisme tersebut yakni:

Cara pertama, metode indeks : sifat-sifat umum perekonomian yang telah maju diabstraksikan sebagai jenis ideal dan kemudian dibandingkan dengan cirri-ciri tipikal yang sama idealnya dari perekonomian dan masyarakat miskin.

Cara kedua, pandangan akulturasi proses perkembangan : mendiskusikan pengetahuan, keahlian, organisasi, nilai-nilai, teknologi dan model bagi suatu bangsa miskin, hingga dalam jangka wktu tertentu secaraa ekonomi berhasil.

Cara ketiga, analisis terhadap proses seperti yang kini sedang menguasai bangsa-bangsa yang dikatakan terbelakang. Pendekatan ini menjurus kepada hipotesis-hipotesis berskala lebih kecil, hingga suatu pandangan retrospektif, dan suatu penilaian penuh terhadap konteks politik, sosial dan cultural perkembangan.

 

Sumber :

Rowland Bismark.F.Pasaribu. 2013. Sosiologi Politik .http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/bab-08-sifat-dan-arti-politik.pdf. Diakses 03 April 2013

4 thoughts on “SIFAT DAN ARTI POLITIK”

  1. lengkap banget penjelasanya, cuma aku dari kecil sering denger ketika caleg buat2 janji mesti orang tua bilangnya “eleh, politik” jadi mindset aku berpikir bahwa politik itu kebohongan belaka? kok bisa gitu ya tanggapan orang tua orang2 tua?

Leave a comment